Daily News|Jakarta –Institute for Democracy Education menurunkan laporan berjudul “Akhirnya Ulama dan Intelektual Muslim Gugat Rezim” yang viral kemarin.
“Di tengah frustrasi dan putus asa akibat hantaman covid-19 yang mengharubirukan kehidupan, rakyat mendengar suara kenabian dari tokoh dan ormas yang sangat mereka hormati.”
Ternyata ulama dan intelektual Muslim — NU maupun Muhammadiyah — tidak diam menyaksikan keserampangan rezim mengelola negara. Segala kebijakan yang dikeluarkan rezim belakangan ini memang menindas rakyat kecil dan membahayakan negara.
Pada 28 April, Wakil Ketua PBNU M Maksum Machfoedz mengecam RUU Omnibus Law Cipta Kerja sebagai RUU yang penuh kezaliman. Menurutnya, sebagaimana para cerdik pandai lain, RUU itu sangat pro-investor kelas kakap dan menganaktirikan investor dan masyarakat kecil.
Karena itu ia memintanya agar segera dihentikan pembahasannya di DPR. Memang rezim sengaja membuat RUU yang menindas buruh ini untuk memberi karpet merah kepada investor.
“Siapa pun yang membaca RUU ini akan geleng kepala: mengapa rezim begitu jahatnya kepada buruh domestik yang upahnya hanya cukup untuk bertahan hidup? Apa salah mereka? Mengapa buruh Cina yang diutamakan?”
Pada 29 April, Ketua Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah sekaligus Sekjen MUI KH Anwar Abbas meminta rezim menghentikan masuknya TKA ke negeri ini, terutama buruh kasar dari Cina, karena menyakitkan hati rakyat dan bangsa Indonesia.
“Rezim akan kehilangan kepercayaan publik kalau kebijakan itu terus berlanjut. Itu tidak baik bagi kehidupan bangsa dan negara, katanya. Suara Anwar Abbas ini juga sudah disuarakan secara jelas oleh berbagai pihak.”
Memang tidak masuk akal secara etis rezim mengundang masuk buruh-buruh kasar Cina di tengah pandemi corona dan saat banyak buruh domestik kehilangan pekerjaan.
“Pada hari yang sama, 29 April, tokoh NU dari Sulawesi Selatan dan mantan Ketua Dewan Masjid Indonesia Muhammad Jusuf Kalla mengkritik kebijakan rezim menangani corona yang disebut simpang-siur, tidak jelas, dan tidak efektif.”
JK mendesak rezim segera menghentikan proyek mercusuar pemindahan IKN dan pembangunan infrastruktur dan fokus menangani covid-19 demi keselamatan rakyat. Ia memperingatkan, cara penangan corona yang tidak tegas dan inkonsisten, berpotensi menciptakan krisis ekonomi yang bahkan bisa melebihi krisis 1998 yang menjatuhkan rezim Orde Baru.
Masih pada hari yang sama, Ketua Pimpinan Pusat Muhammdiyah Prof Haedar Nashir menulis di Republika online tentang “Runtuhnya Hegemoni” yang mengkritisi keangkuhan manusia dengan iptek dan berbagai ideologi yang diciptakannya.
“Keangkuhan hegemoni yang ternyata tak berdaya menghadapi virus corona kecil ciptaan Allah. Meskipun kritik itu bersifat umum, beberapa pesannya bisa diarahkan kepada rezim.
Haedar mengkritisi sosok angkuh kuasa, egois, yang hanya memikirkan ekonomi dan investasi. Berselancar kegaduhan di ruang publik. Di tengah gelombang krisis ini, katanya, sebagian manusia masih tetap dungu dan angkuh diri. Hatta mereka yang mengaku beriman, berakal pikiran, dan berilmu.
“Lebih-lebih mereka yang merasa berkuasa. Rezim saat ini memang sesuai dengan gambaran ulama sekaligus intelektual itu.”
Beberapa hari sebelumnya, intelektual Muslim Amien Rais dan Din Syamsuddin memimpin gugatan Perppu No 1 Tahun 2020 yang dikenal sebagai Covid-19 ke Mahkamah Konstitusi.
“Perppu ini memang punya cacat-cacat bawaan yang mengerikan. Karena berpotensi melanggar Konstitusi, membuka jalan lebar-lebar bagi rezim untuk berutang tanpa batas yang membebani rakyat dalam jangka panjang, membuka jalan bagi korupsi besar-besaran tanpa pelakunya dapat dimintai pertanggungjawaban.”
Alhasil, Perppu ini memberikan kuasa penuh pada rezim untuk menggunakan anggaran dari manapun didapat tanpa ancaman sanksi meskipun terbukti ada KKN di sana. Kita jadi heran, mengapa bisa muncul pikiran culas rezim semacam ini.
Diresponsnya gugatan Amien-Din Cs ini oleh MK dengan segera menggelar sidang menunjukkan seriusnya masalah ini.
Kritik dan kecaman intelektual dan ulama terhadap kebijakan-kebijakan serampangan dan arogansi rezim harus dilihat sebagai tanggung jawab mereka terhadap keselamatan umat, bangsa, dan negara.
Kalau rezim masih juga menutup telinganya dan menganggap kritik mereka sebagai angin lalu, maka prediksi Jusuf Kalla bisa jadi kenyataan: akan muncul krisis yang lebih besar daripada krisis 1998.
“Kalau demikian, krisis yang akan datang dapat memakzulkan rezim,” tutup laporan itu. (DJP)
Discussion about this post