Jakarta | DNI – Kamu ingin jadi wartawan? Coba tengok iklan lowongan kerja untuk posisi jurnalis. Pasti, selalu ada syarat tentang minimal pendidikan. Biasanya harus punya gelar S1. Tapi, ada juga yang mensyaratkan minimal D3. Nyaris tak ada lowongan yang tak mencantumkan soal gelar pendidikan. Sepertinya, semua mensyaratkan itu. Tidak ada yang salah memang. Setiap perusahaan media punya kebijakannya masing dalam merekrut calon reporternya.
Namun ada kisah menarik, tentang seorang wartawan yang hanya lulusan SD. Tapi, meski dia hanya lulusan SD, namanya ‘harum’. Karirnya terentang jauh. Pernah jadi wartawan di media-media yang berpengaruh di negeri ini. Salah satunya berkarir di Kompas, koran terbesar di Indonesia. Bahkan, sampai pensiun ia tetap bersama Kompas.
Wartawan ini bernama, Marthias Dusky Pandoe. Ya, dia wartawan yang sangat senior. Dia jadi wartawan, ketika Indonesia masih dalam keadaan ‘darurat’, karena baru beberapa tahun merdeka dari cengkraman penjajah. Tapi memang Marthias, bukanlah wartawan yang pernah mengenyam pendidikan tinggi.
Soal awal mula dia jadi wartawan, diceritakannya lewat buku, ” Jernih Melihat, Cermat Mencatat : Antologi Karya Jurnalistik Wartawan Senior Kompas,” yang ditulisnya sendiri. Marthias, bercerita, sekitar tahun antara tahun 1944-1945, dia mengantongi tanda tamat belajar sekolah dasar kelas IV. Marthias masih ingat, sekolah ini, punya mata pelajaran bahasa Belanda. Standard Jongen’s Vervolkschool, demikian nama sekolahnya. Saat hendak melanjutkan sekolah, perang meletus. Belanda kalah perang, lalu Jepang datang.
Situasi kian sulit. Untungnya, Jepang kemudian menyerah kepada sekutu yang dimotori Amerika Serikat, setelah dua kotanya Nagasaki dan Hirosima luluhlantak di bom atom.
Indonesia pun merdeka. Marthias masih ingat, pertama kali dia melamar jadi wartawan di Koran Ken Po, tahun 1953. Ken Po sendiri adalah koran sore terbesar di Indonesia ketika itu. Pesaingnya Koran Sin Po.
Saat dia melamar, sama sekali tak ditanya soal ijazah sekolahnya. Dia diterima begitu saja. Pemimpin redaksi Ken Po, Injo Beng Goat, yang menerima Marthias ketika itu, meminta dia menemui redaktur pelaksana Ken Po, Oei Tek Oen. Oleh Oei Tek Oen, Marthias tak ditanya macam-macam. Soal ijazah sekolah, sama sekali tak ditanyakan. Ia langsung diterima saja jadi reporter.
Begitu juga, ketika dia pindah kerja ke Koran Abadi. Di Koran yang sering dicap korannya orang Masyumi, dia juga tak ditanya sema sekali soal ijazah sekolahnya. Petinggi di koran itu, menerimnya begitu saja. Mungkin, karena ia memang sudah punya pengalaman, sehingga tak ditanya macam-macam soal ijazah sekolah. Mungkin dianggapnya, dia sudah bisa menulis, sehingga tak perlku syarat-syarat apapun, termasuk soal pendidikan sekolahnya.
Hal yang sama, ia alami juga, ketika masuk Kompas. Bahkan Marthias masuk Kompas, lewat PK Ojong, salah satu pendiri koran tersebut, yang memintanya bergabung. Di koran terbesar itu, Marthias menghabiskan karirenya sebagai wartawan. Selama 20 tahun, dia bersama Kompas.
Di Kompas, dia menjadi salah satu wartawan yang dihormati. Tidak hanya itu, wartawan senior Rosihan Anwar juga menaruh hormat padanya. Rosihan, menganggap Marthias, anak desa yang sukses di dunia kewartawanan. Marthias juga dianggap Rosihan, sebagai wartawan yang punya integritas. Wartawan yang tawadhu, juga jujur.
Kisah tentang Marthias, layak jadi pelajaran, bahwa ijazah tak selamanya jadi penentu keberhasilan. Nama besar seseorang, tidak ditentukan, apakah dia seorang sarjana atau tidak. Toh, faktanya, banyak orang-orang hebat, yang tak tamat sekolahnya. Bill Gates, pendiri Microsoft adalah salah satunya. Bos Facebook, Mark Zuckerberg, contoh lainnya. Mark juga tak sempat menyelesaikan kuliahnya. Tapi, dia kini dicatat sebagai orang berpengaruh di dunia. Tidak hanya itu, Mark juga masuk daftar orang terkaya sejagad.
Jadi jangan pernah minder, hanya karena tak punya ijazah. Sebab ijazah, sekali lagi, bukan penentu segalanya. Namun yang menentukan, adalah kerja keras. Siapa yang kerja keras, pasti akan menuai hasilnya. Tapi, setinggi apapun pendidikan seseorang, jika malas, dia tak akan dapat apa-apa. Hanya dapat angin, mungkin juga cibiran.
(Supriyatna/Daily News Indonesia)
Discussion about this post