Daily News | Jakarta – Tokoh berlatar belakang militer masih punya magnet di mata publik. Tokoh militer selalu diidentikan dengan ketegasan. Disiplin. Dan cepat mengambil keputusan.
Di Indonesia sendiri, beberapa tokoh berlatar belakang militer berhasil sampai puncak kekuasaan politik. Soeharto, adalah tokoh berlatar belakang militer pertama yang jadi Presiden RI.
Soeharto jadi Presiden menggantikan Soekarno, Presiden RI yang pertama. Banyak cerita kontroversi soal suksesi kekuasaan dari tangan Soekarno ke Soeharto. Ada yang menyebut itu adalah ‘kudeta’ perlahan. Yang pasti, peristiwa G30S/PKI yang memberi jalan bagi Soeharto tampil ke puncak kekuasaan. Dan, 32 tahun lamanya ia berkuasa. Sampai kemudian menyatakan mundur pada 98, setelah Jakarta dibakar kerusuhan.
Pangkat terakhir Soeharto di militer, adalah bintang empat atau jenderal penuh. Di penghujung kekuasaannya, Soeharto diberi gelar tambahan. Ia diangkat jadi jenderal bintang lima, bersama dua jenderal lainnya yakni Jenderal AH Nasution dan Panglima Besar, Jenderal Soedirman.
Tokoh militer lainnya yang berhasil mengikuti jejak Soeharto, adalah Susilo Bambang Yudhoyono atau biasa dipanggil SBY. Ya, SBY adalah Presiden dengan latar belakang militer. Dia, seorang jenderal penuh alias bintang empat. Bahkan, SBY sempat diusulkan menerima gelar serupa seperti Soeharto, yaitu jenderal bintang lima. Tapi tak jadi diberikan, karena menuai banyak protes.
SBY jadi presiden setelah memenangi pemilihan presiden 2004. Saat itu, ia berduet dengan Jusuf Kalla. Pada pemilihan presiden 2009, kembali SBY menang. Kali ini ia berpasangan dengan Boediono. Jadi SBY adalah tokoh militer pertama yang dipilih jadi presiden secara langsung.
Soeharto dan SBY, bukan jenderal dari kesatuan baret merah : Kopassus. Keduanya berasal dari Kostrad. Ternyata, pernah ada dua jenderal baret merah yang sempat merasakan medan pertempuran pemilihan presiden. Siapa sajakah mereka?
1. Letjen (Purn) Prabowo Subianto
Letjen Prabowo Subianto adalah satu dari dua jenderal merah yang sempat merasakan atmosfer persaingan dalam pemilihan presiden. Di Kopassus, Prabowo pernah jadi Danjen. Lalu jadi Pangkostrad.
Prabowo empat kali pernah mencoba maju ke medan pertempuran politik untuk menggapai ambisinya bisa berkantor di Istana. Pertama saat dia daftar dan ikut konvensi penjaringan capres di Partai Golkar. Di konvensi, dia gagal. Yang menang adalah Wiranto, mantan atasannya di TNI.
Prabowo kemudian mendirikan Partai Gerindra. Lewat partai itu, Prabowo kembali merintis jalan menuju Istana. Ia pun dideklarasikan jadi capres Gerindra. Sayang, dalam pemilu legislatif, raupan suaranya tak mendukung dia untuk langsung maju ke gelanggang Pilpres. Sempat pontang-panting cari kawan koalisi, akhirnya Prabowo berlabuh di kandang banteng moncong putih.
Di injury time pendaftaran capres dan cawapres untuk Pilpres 2009, Gerindra resmi berkoalisi dengan PDIP. Karena suaranya di bawah PDIP, Prabowo pun akhirnya rela jadi calon orang nomor dua alias jadi cawapresnya Megawati, Ketua Umum PDIP yang kembali maju gelanggang.
Sayang, duetnya bersama Megawati di Pilpres 2009, kandas. Ia dan Mega tak berhasil mengungguli SBY yang jadi calon inkumben. SBY bersama Boediono yang kemudian jadi jawara menyingkirkan Mega-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto.
Pada pemilihan berikunya, yakni pemilu 2014, kembali Prabowo maju ke medan pertempuran politik. Kali ini, dalam pemilihan legislatif, partanya, Partai Gerindra dapat mendulang suara cukup signifikan. Sehingga Prabowo punya daya tawar lebih kepada partai lain. Jalan menuju Istana pun terbuka. Dan, akhirnya kawan duet didapat, yakni Hatta Rajasa, Ketua Umum PAN.
Prabowo pun menatap gelanggang Pilpres dengan penuh optimis. Yang jadi lawannya adalah Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla. Hanya dua pasangan calon yang berlaga. Persaingan menuju Istana pun berlangsung sengit, panas dan dinamis. Saling serang dan jatuhkan tak hanya terjadi di lapangan. Tapi juga di dunia maya. Tapi akhirnya sejarah mencatatkan, Prabowo kembali harus kalah di medan pertempuran politik. Pasangan Jokowi-Jusuf Kalla yang keluar sebagai kampiun.
Pada 2019, Prabowo kembali maju ke medan pertempuran politik. Rivalnya masih orang yang sama, yakni Jokowi yang mengalahkannya pada pemilihan presiden 2014. Berpasangan dengan Sandiaga Uno, Prabowo bersaing dengan Jokowi merebut tiket ke Istana. Jokowi sendiri kali ini menggandeng Ma’ruf Amin, seorang kiai senior NU. Nasib baik belum berpihak pada Prabowo. Kembali ia harus menelan pil pahit kekalahan.
2. Jenderal (Purn) Agum Gumelar
Jenderal baret merah lainnya yang sempat mencicipi atmosfer persaingan dalam pemilihan presiden adalah
Agum Gumelar. Pada Pilpres 2004, Agum yang juga bekas Danjen Kopassus ini maju bertarung. Tapi, ia maju bukan sebagai capres. Senior Prabowo di Kopassus ini maju sebagai cawapresnya Hamzah Haz, yang ketika itu diusung oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sayang, dewi fortuna politik tak berpihak padanya.
Agum gagal memenangi persaingan bersama Hamzah Haz. Bahkan raihan suaranya paling buncit diantara pasangan lainnya. Sebenarnya ada satu jenderal baret merah lainnya yang coba merintis mimpi jadi orang nomor satu di republik ini. Dia, adalah Sutiyoso, Letnan Jenderal Purnawirawan.
Selepas pensiun dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso yang pensiunan militer itu mendeklarasikan diri sebagai kandidat capres. Sayang, meski sudah mendeklarasikan diri secara terbuka, tak ada partai yang terpikat mengusungnya. Sutiyoso pun gagal bahkan sebelum bertempur.
(Supriyatna/Daily News Indonesia)
Discussion about this post