Daily News|Jakarta – Demonstrasi yang dilakukan ribuan mahasiswa yang digelar serentak di berbagai kota di Indonesia kembali digelar. Aksi mahasiswa turun ke jalan untuk menentang sejumlah beleid antara lain, UU KPK, RUU KUHP, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan dan RUU Sumber Daya Alam. Para mahasiwa menganggap, parlemen telah membajak reformasi. Mengamputasi KPK.
Menurut Pengamat Politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, aksi mahasiswa ini jangan dianggap remeh. Karena aksi ini, bukan aksi bayaran. Tapi murni datang dari kekecewaan terhadap situasi politik yang ada sekarang. Kalangan kampus merasa telinga elit sudah tuli. Tak ada lagi oposisi kritis. Maka, ketika oposisi mati suri, mahasiswa yang akan ambil alih. Mahasiwa yang akan jadi oposisi dengan caranya sendiri. Seperti tahun 1998.
“Demo mahasiswa ini menjadi sinyal bagi Pemerintah dan DPR bahwa ketika oposisi parlemen mati suri, mahasiswa yang akan ambil alih oposisi dari luar parlemen,” kata Adi, di Jakarta, Selasa (24/9).
Adi menambahkan, para mahasiwa memutuskan turun ke jalan, menjadi oposisi parlemen jalanan, karena merasa ada yang salah dengan pengelola Negara. Terutama setelah keluarnya sejumlah undang-undang yang dianggap bakal membahayakan demokrasi di negeri ini. Maka, mereka bergerak, karena Pemerintah dan DPR telah bersekutu mengeluarkan beleid yang mengancam demokrasi dan juga upaya pemberantasan korupsi. Pendek kata, para mahasiswa ini menganggap reformasi telah dikorupsi.
“Demo ini adalah sebagai respon terhadap sejumlah RUU yang dianggap kontroversial terutama RUU KPK dan RUU KUHP yang prosesnya begitu cepat tanpa public hearing dengan publik,” katanya.
Kata Adi, mestinya DPR dan Pemerintah mengajak dialog pihak-pihak yang selama ini keras menolak dan mendebatkan substansi dari beberapa RUU yang kontoversial itu. Tapi faktanya, Pemerintah dan DPR, seperti kafilah yang terus berlalu, meski anjing begitu ramai menggonggong. Pendek kata, para elit baik di eksekutif dan legislatif, tuli akan suara yang disuarakan dari luar.
Mereka jalan sendiri tanpa sedikit pun mau mendengar. Maka, ketika tak ada lagi yang mendengar, mahasiswa yang notabene adalah penjaga moral di republik ini, memilih untuk turun ke jalan. “Poinnya di situ. Ada transparansi dan keterbukaan soal pembahasam UU,” ujar Adi.
Mengenai gerakan mahasiswa saat ini, Adi sendiri menilai masih sporadis menyikapi isu-isu aktual yang berkembang. Meski kemudian sudah ada sinyal, mereka satu suara. Gerakan mahasiswa ini akan panjang nafasnya jika para mahasiswa terus berunjuk rasa sampai tuntutan itu dituntaskan. “Ibaratnya jangan kembali pulang sebelum UU KPK dan RUU KUHP itu dibatalkan,” ucap dia.
Sementara itu, Pengamat Politik dari Universitas Al Azhar, Ujang Komarudin melihat demonstrasi mahasiswa yang sekarang marak digelar, merupakan gerakan moral. Demonstrasi digelar karena mahasiswa kecewa akan kondisi bangsa. Mereka prihatin atas kebijakan DPR dan Pemerintah yang sudah merevisi UU KPK.
“Mahasiswa itu posisinya jelas tidak ingin KPK lemah. Namun DPR dan Pemerintah malah membonsai dan membunuhnya. Mahasiswa jadi kecewa dan marah,” jelas Ujang.
Ditambah lagi lanjut Ujang, akan disahkannya RUU KUHP. Walau memang pengesahannya ditunda, tapi para mahasiswa sudah kadung kecewa. Mereka tak mau lagi dikadalin. Rancangan KUHP diprotes, karena dianggap hanya akan menghidupkan rezim yang otoriter. Memberi peluang kembalinya wajah negara yang angker. Wajah kekuasaan yang anti kritik.
“Saya pikir jika tidak direspons dengan baik, bisa saja demonstrasi akan dilakukan secara maraton dan panjang. Jadi jangan anggap remeh aksi mahasiswa ini,” beber Ujang.
Harusnya DPR ini peka. Apalagi di DPR itu banyak mantan aktivis yang dulu berjibaku pada gerakan reformasi pada tahun 1998. Mereka harusnya paham ketika mahasiswa sudah marah lalu bersatu. Kini, para mahasiswa mengganggap DPR dan Pemerintah ingkar janji. Yang paling fatal adalah langkah DPR merevisi UU KPK yang kemudian diamini oleh Presiden.
“Demonstrasi mahasiswa harus direspons dengan baik. Aspirasinya harus diterima. Jika tidak, maka demonstrasi bisa saja akan semakin luas dan lama,” katanya.
Menurut Ujang, tak ada cari lain untuk meredakan kemarahan publik. Presiden harus membatalkan UU KPK. Dan tidak membahas RUU KUHP. Karena itu yang menjadi tuntutan utama para mahasiswa dan kalangan Kampus. Bila Presiden abai dan tak mengindahkan demonstrasi mahasiswa, maka kepercayaan terhadap pemerintah akan pudar.
“DPR juga harusnya jangan memaksakan kehendak. DPR harusnya aspiratif. Tidak bersekutu dengan Pemerintah merevisi UU yang tidak berpihak kepada rakyat. Sebagai wakil rakyat harusnya DPR mengikuti aspirasi rakyat. Bukan malah membuat kebijakan yang ditolak rakyat atau mahasiswa,” tandas Ujang.
Penulis: Agus S