Penentuan pimpinan MPRRI direncanakan digelar malam ini, Kamis (3/10). Bambang Soesatyo, politisi Partai Golkar yang juga eks Ketua DPR jadi salah satu calon kuatnya. Calon penantangnya, Ahmad Muzani, Sekretaris Jenderal Partai Gerindra. Kabarnya, Fadel Muhammad, mantan Gubernur Gorontalo yang kini jadi senator daerah juga berhasrat jadi orang nomor satu di MPR.
Menurut Emrus Sihombing, Direktur Eksekutif Lembaga EmrusCorner yang juga pakar komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan Jakarta, pemilihan pimpinan MPR harus melalui proses musyawarah. Bahkan pemilihan lewat jalan musyawarah bisa dikatakan bersifat mutlak.
” Sama sekali tidak boleh dengan voting,” kata Emrus, di Jakarta, Kamis (3/10).
Alasannya, marwah lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat terletak pada makna yang melekat pada institusi ini yakni musyawarah. Maka kalau kemudian pemilihan pimpinan MPR dilakukan lewat mekanisne voting, sama saja itu menghilangkan marwah MPR.
” Jika nanti malam yang terjadi melalui voting, maka telah mereduksi hakekat MPR RI itu sendiri,” ujarnya.
Selain itu, kata dia, jika dengan voting, anggota MPR RI telah gagal melakukan fungsi utamanya yaitu musyawarah. Jadi jangan sampai, bahkan tidak boleh penentuan pimpinan MPR yang direncanakan malam ini melalui voting. Harus dengan musyawarah. Sebab bila melalui voting, maka secara de facto nama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah berubah menjadi Majelis Pervotingan Rakyat.
” Tentu ini tidak kita inginkan dan sangat jauh dari keluhuran budaya demokrasi ala ke-Indonesia-an kita. Jadi, penentuan pimpinan MPR RI harus dan mutlak melalui proses musyawarah. Tidak ada pilihan lain,” katanya.
Karena itu, imbuh Emrus, harus menjadi perhatian serius dari seluruh anggota MPR, bahwa sidang perdana penentuan paket pimpinan majelis ini sekaligus evaluasi awal dari seluruh rakyat Indonesia terhadap semua anggota MPR periode 2019-2024, apakah mereka politisi negarawan atau politisi politikus.
” Jika mereka politisi negarawan, penentuan paket pimpinan MPR harus melalui masyawarah. Sebaliknya bila melalui voting, maka mereka lebih dekat sebagai politisi politikus yaitu orientasi utamanya memperoleh kekuasaan yang seolah mengabaikan bagaimana proses memperoleh kekuasaan itu sendiri,” ujar Emrus.
Alasan lain mengapa tidak boleh voting, lanjutnya, sebab, marwah lembaga MPR terletak pada makna yang melekat pada institusi ini yaitu musyawarah.
Bila penentuan pimpinan MPR yang terjadi melalui voting, disadari atau tidak, maka mereka telah mereduksi hakekat mulia dibentuknya lembaga MPR itu sendiri. Sekaligus menunjukkan bahwa anggota MPR-RI telah gagal melakukan peran utamanya yaitu musyawarah.
” Untuk itu, sebelum terlambat, tentukanlah paket pimpinan MPR hanya melalui musyawarah,” katanya. (Supriyatna/Daily News Indonesia)