Daily News|Jakarta – Kekhawatiran publik terhadap upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi sangat wajar. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengaku memaklumi kegelisahan itu. Terlebih, setelah revisi UU KPK resmi disahkan menjadi Undang-undang.
Kekinian, tingkat kepecayaan publik terhadap penyelenggara pemerintah diakui Alex memang sangat rendah. Bahkan nyaris tidak ada. Makanya, wajar mayoritas masyarakat kontra terhadap UU KPK, hasil revisi ini.
“Saya membuat kesimpulan, bahwa ada ketidakpercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintah di daerah maupun para aparat penegak hukum yang lain. Seolah-seolah kalau KPK itu akan lumpuh. Tentu itu menjadi perhatian kita semuanya,” ucap Alex, Solo, Kamis (26/6/2019).
Ada sejumlah poin yang dinilai berpotensi melemahkan dalam UU KPK hasil revisi yang telah disahkan oleh DPR, Selasa (24/9/2019) lalu. Disebut melemahkan, lantaran mengurangi sejumlah kewenangan lembaga di Rasuna Said tersebut.
Sebut saja, keberadaan lembaga baru bernama, Dewan Pengawas KPK, dilucutinya sejumlah kewenangan terkait penyidikan dan penuntutan, serta sejumlah prosedur yang dianggap merumitkan proses penindakan korupsi.
Satu poin lagi yang paling disorot adalah, terkait kewenangan penyadapan tidak lagi dapat dilakukan KPK di tahap Penuntutan dan jadi lebih sulit karena ada lapis birokrasi. Jika UU ini diberlakukan, ada 6 tahapan yang harus dilalui terlebih dahulu.
Secara berurutan: dari penyelidik yang menangani perkara ke Kasatgas. Lalu dari Kasatgas ke Direktur Penyelidikan dan dilanjutkan ke Deputi Bidang Penindakan. Dari sana dibawa ke Pimpinan KPK sebelum minta izin ke Dewan Pengawas.
Kebanyakan orang menyebut KPK sudah mati suri. Ini yang membuat para pegiat antikorupsi minta Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu untuk menyelamatkan si pemberantas korupsi itu. Sebagai bukti, Violla Reininda, Peneliti Kode Inisiatif.
Sebab, kata Violla Peppu juga pernah dikeluarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2009, yakni Perppu Nomor 4 Tahun 2009 tentang perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. “Kalau kita lihat praktik ketatanegaraan terdahulu, Presiden SBY pernah mengeluarkan Perppu (tentang KPK),” ucap Violla beberapa waktu lalu.
Namun, kemungkinan Jokowi akan mengeluarkan Perppu juga sangat kecil. Meski, hal ini adalah salah satu opsi yang dapat dilakukan, apabila mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut ingin mendengar aspirasi masyarakat. “Tapi saya kira itu kemungkinannya sangat kecil meskipun perppu menjadi salah satu opsinya,” kata dia.
Usai bertemu dengan pimpinan DPR di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin, 23 September lalu, Jokowi menyampaikan tidak ada rencana menerbitkan Perppu untuk menggantikan UU KPK yang sudah direvisi.
Jokowi berdalih, ia tak bisa mengeluarkan Perppu untuk UU KPK versi revisi karena beleid itu diusulkan DPR. “Yang satu itu (revisi UU KPK) inisiatif DPR. Ini (RUU lainnya) pemerintah aktif karena memang disiapkan oleh pemerintah,” ucap Jokowi kala itu.
Pakar hukum tata negara dari Sekolah Hukum Jentera Bivitri Susanti menilai Jokowi salah paham. Menurut dia, tak ada satu pun ketentuan yang melarang presiden mengeluarkan Perppu atas RUU yang diusulkan DPR.
Pasal 22 UUD 1945 hanya membatasi Perppu dikeluarkan pada hal ihwal atau keadaan genting yang mendesak. Karena itu, Jokowi diharapkan masih mau mendengar suara publik dan meralat pernyataannya itu. Bivitri pun memperingatkan Jokowi yang saat ini mulai ditinggalkan pemilihnya.
Hal itu bisa dilihat dari latar belakang anak muda yang turun aksi pada dua hari terakhir. Di Yogyakarta, Senin (23/9/2019), ratusan mahasiswa dan masyarakat yang menamakan diri Aliansi Rakyat Bergerak melakukan aksi damai bertajuk Gejayan Memanggil.
Menurut koordinator aksi, Nailendra, salah satu aspirasi gerakan Gejayan Memanggil adalah menyatakan mosi tidak percaya kepada DPR dan elite politik pasca pengesahaan revisi UU KPK.
Isu lain yang turut disuarakan mahasiswa terkait RKUHP, pembakaran hutan dan tambang, RUU Ketenagakerjaan yang tidak berpihak pada rakyat, problematika RUU Pertanahan, dan tak ketinggalan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang belum ditetapkan.
Sementara itu di Jakarta, massa mahasiswa dari berbagai universitas juga turun jalan, menggelar demonstrasi di depan Gedung DPR RI. Massa gabungan itu datang dari Universitas Indonesia, UIN Jakarta, Universitas Atma Jaya, Universitas Kristen Indonesia, Universitas Muhammadiyah Jakarta, Universitas Al-Azhar, dan beberapa universitas lain.
Tuntutan para mahasiswa Jakarta relatif sama dengan Aliansi Rakyat Bergerak Yogykarta. Selain di Yogyakarta dan Jakarta, demonstrasi besar juga terjadi di Surabaya, Jombang, Malang, Cirebon, Bandung, Makassar, Riau, juga Papua. Lagi-lagi, mereka masih menyoal revisi UU KPK, RKUHP serta sejumlah rancangan Undang-undang yang sudah dan belum disahkan DPR.