Beberapa hari terakhir ini, ibu kota negara di warnai aksi unjuk rasa besar-besaran. Demonstrasi dilakukan ribuan mahasiswa di depan gedung DPR, di kawasan Senayan, Jakarta. Mereka berunjuk rasa memprotes sejumlah RUU yang dianggap mengancam demokrasi dan kebebasan berpendapat. RUU yang diprotes antara lain RUU KUHP, UU KPK, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan dan RUU Minerba.
Demonstrasi awalnya berjalan damai. Tapi kemudian berujung bentrok. Ribuan polisi yang berjaga pun bertindak keras. Water canon disemprotkan. Gas air mata ditembakan. Lalu berbalas lemparan batu dan botol air mineral. Situasi kacau.
Asap dari sisa gas air mata pun mengepul di area demonstrasi. Banyak para demonstran yang kemudian jadi korban. Banyak yang pingsan. Bahkan banyak pula yang terluka kena pukul aparat yang berjaga. Sampai malam, bentrok terus terjadi. Padahal, kelompok mahasiswa sudah menarik diri. Giliran massa yang bukan mahasiwa yang ambil alih. Mereka gencar melempar batu. Tak hanya itu, mereka juga membakar sejumlah fasilitas publik. Beberapa pos polisi dibakar. Pun pintu tol. Beberapa unit sepeda motor juga hangus.
Sampai dini hari, bentrok masih terjadi. Disambung esok harinya, Rabu (25/9), ratusan pelajar yang mengatasnamakan STM se-jabodetabek yang lakukan demo. Seperti demo sebelumnya, demo hari itu juga berujung bentrok. Water canon disemprotkan. Pun, gas air mata, untuk memukul pendemo. Sampai menjelang subuh bentrok terus terjadi.
Namun yang disayangkan, dari arena demonstrasi juga ada cerita buruk soal aparat yang mengintimidasi para jurnalis. Bahkan tak hanya mengintimidasi, aparat kepolisian juga mengancam serta merampas handphone para jurnalis. Mereka rampas handphone wartawan, untuk menghapus tindakan represif aparat terhadap para pendemo.
Zen RS, Pemimpin Redaksi Narasi TV dalam keterangan persnya mengungkapkan, salah satu jurnalis yang jadi korban kekerasan aparat di arena demonstrasi adalah Reporter Narasi TV, Vany Fitria. Vany tak sekedar diintimidasi. Tapi juga mengalami kekerasan fisik. Pelakunya adalah aparat Brimob. ” Tidak hanya diintimidasi, telepon selulernya pun dirampas,” ungkap Zen, dalam keterangan tertulisnya yang diterima Daily News di Jakarta, Kamis (26/9).
Zen pun lantas menceritakan kronologis tindakan kasar aparat para Vany, anak buahnya. Kata Zen, ketika itu Vany ditugaskan meliput aksi demonstrasi di sekitar Gedung DPR. Lalu, sekitar pukul 20.00, Rabu 25 September 2019, Vany mengetahui ada aparat kepolisian yang berkumpul di depan Resto Pulau Dua sedang berusaha menghalau massa aksi. Massa ini berkerumun di sekitar fly-over Bendungan Hilir. Tepat di antara dua titik itulah, diantara Resto Pulau Dua dan fly-over Bendungan Hilir, Vany mencoba mengambil gambar.
” Sekitar pukul 20.10 (25 September 2019), seorang anggota Brimbob mendekati Vany,” kata Zen.
Personil Brimob itu lanjut Zen, meminta Vany untuk tidak mengambil gambar. Beberapa detik kemudian, dari arah belakang, datang lagi seorang anggota Brimob yang lain yang langsung memukul badan Vany. Vany dipukul menggunakan tameng hingga ia nyaris terjengkang.
“Saat berusaha berdiri dengan stabil kembali, anggota Brimob yang memukul dengan tameng itu mengambil telepon seluler Vany dan kemudian membantingnya ke trotoar,” katanya.
Anggota Brimob yang sama, kata Zen, kemudian mengambil telepon seluler tersebut dan hendak membantingnya kembali. Namun anggota Brimob yang lain datang mengambil telepon seluler tersebut dan memasukannya ke dalam sakunya sendiri. Vany, ketika itu sudah mengatakan bahwa dirinya adalah wartawan. Tapi tak digubris. Padahal kartu pers telah ditunjukkan.
” Mereka (polisi) bukan hanya tidak peduli, tapi juga melontarkan kalimat-kalimat yang intimidatif. Vany sudah menawarkan diri untuk menghapus footage asalkan telepon seluler miliknya dikembalikan, namun permintaan itu diabaikan,” katanya.
Zen juga bercerita peristiwa serupa yang terjadi saat demo sehari sebelumnya, Selasa, 24 September. Pada demonstrasi pada hari itu, wartawan Narasi TV yang lain, Harfin Naqsyabandi juga mengalami intimadasi dari aparat. Kejadiannya sekitar pukul 22.00. Ketika itu Harfin dipaksa aparat kepolisian dari Satua Krimum Polda Metro Jaya untuk memformat ulang telepon selulernya karena mengabadikan adegan aparat kepolisian yang mengeroyok seorang massa aksi yang dituduh merusak salah satu fasilitas umum di sekitaran pintu Gedung DPR.
“Harfin menolak permintaan memformat ulang itu, dan akhirnya hanya menghapus 2 video adegan pengeroyokannya saja,” ujarnya.
Berdasarkan kronologi kejadian tersebut, Narasi TV, kata Zen menyatakan beberapa sikap. Pertama, menuntut pihak kepolisian untuk mengembalikan (bukan mengganti) telepon seluler milik Vany Fitria yang telah dirampas secara sewenang-wenang. Kedua mengutuk kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian.
“Tidak hanya terhadap Vany, melainkan kekerasan terhadap para wartawan lainnya, juga masyarakat sipil lainnya yang sedang menggunakan hak-haknya yang dilindungi UU” katanya.
Ketiga, kata Zen, menuntut Kapolri mematuhi Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Polri Nomor 2/DP/MoU/II/2017 Pasal 4 ayat 1, yang menyebutkan para pihak berkoordinasi terkait perlindungan kemerdekaan pers dalam pelaksanaan tugas di bidang pers sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
” Keempat, meminta Kapolri memerintahkan anak buahnya di lapangan tidak menghalangi kerja jurnalis yang dilindungi UU Pers,” kata Zen.