Di era digital, dunia maya adalah medan perang yang menentukan. Lewat internet, gemuruh perang opini ditabuh. Media sosial jadi senjata. Jadi alat untuk merangkul dan memukul.
Daily News masih ingat, beberapa waktu sebelum tabuh pemilihan presiden terdengar nyaring, sempat diajak seorang kawan bertemu dengan seseorang. Katanya, orang yang akan ditemui adalah bagian dari tim sukses s eorang calon presiden. Awalnya, agak enggan untuk bertemu. Tapi kawan itu tetap mendesak. Katanya, ngopi-ngopi saja, tak usah nanti ikut-ikutan.
Pertemuan digelar di sebuah mall kelas atas yang ada di Jakarta. Di sebuah kafe. Sore hari menjelang petang pertemuan itu terjadi. Ketika Daily News tiba bersama kawan tadi, orang yang hendak ditemui, sudah menunggu. ” Silahkan pesan saja dulu makanan dan minuman katanya dengan ramai.
Setelah basa-basi sebentar, minuman dan makanan yang dipesan datang. Sembari ngopi, ia pun kemudian mengawali pembicaraan. Katanya, ia perlu orang-orang yang membantunya memainkan opini tentang seorang calon presiden. Ia berencana merekrut, orang yang nanti akan bertugas untuk mencitrakan positif calon presiden yang didukungnya. Selain, menangkis opini negatif terhadap calon jagoannya.
” Mainnya bisa media sosial,” katanya sambil mengunyah roti Perancis pesanan.
Tidak hanya itu, ia juga membeberkan rencana bentuk media. Media ini akan bermain di cetak dan online. Katanya, kubu lawan juga sudah gencar main itu. ” Lihat saja sekarang banyak bermunculan website berita yang tak jelas. Isinya menjelekkan capres dan memuji capres lainnya. Itu mainan di Pilpres,” katanya.
Daily News hanya menyimak saja. Orang yang disebut tim sukses capres itu lebih banyak mendominasi obrolan. Lalu, pembicaraan sampai pada nominal rupiah bagi orang yang katanya hendak direkrut. Ia pun menyebut angka. Daily News sampai kaget mendengar angka rupiah yang disebutkan. Cukup besar. Jauh melebihi gaji Daily. Angkanya lebih dari 10 juta.
Tapi, ya itu, gaji itu hanya sampai Pilpres digelar. Tidak seterusnya. Lihat situasi saja, katanya. Dia pun menyebut istilah bohir. Menurutnya kalau kata si bohir lanjut. Maka kerja lanjut. Tapi, kerja utama hanya sampai menjelang pemungutan suara saja.
” Kalau bohir bilang lanjut, ya kita lanjut,” ujarnya.
Di remang malam yang mulai menjalar, Daily News sempat merenung. Betapa besar putaran uang dalam Pilpres. Dari main opini saja, putaran rupiah begitu besar. Dan pasti, bukan hanya dia yang main. Banyak yang bermain. Sebab kalau menengok media sosial, terutama di Twitter dan Facebook, gemuruh perang opini sudah terjadi. Saling menjelekkan calon nyaris tiap hari diproduksi. Lewat tulisan. Lewat potongan video, semua dilakukan.
Bahkan video lama pun yang sebenarnya tak ada kaitan dengan satu peristiwa yang sedang aktual, direkayasa sedemikian rupa, seakan-akan itu memang peristiwa yang masih hangat. Daily News masih ingat, pernah dapat potongan video berisi rekaman pembakaran sebuah mess di pinggir hutan. Dalam narasi video disebutkan itu adalah peristiwa pembakaran mess pekerja asal Cina yang ditulis pekerja ilegal yang didatangkan diam-diam.
Rupanya, video itu, video lama. Peristiwa dalam video itu terjadi jauh sebelum hiruk pikuk Pilpres 2019 mulai menggeliat. Video tahun 2013. Isi rekaman pun bukan soal peristiwa pengusiran pekerja asal Tiongkok yang disebut dalam narasi si penyebar, didatangkan diam-diam. Tapi video bentrok warga dengan sebuah perusaahan perkebunan yang dipicu konflik lahan.
Tapi begitulah yang terjadi. Di era digital, lapak maya sudah jadi medan pertempuran tersendiri. Lihat saja apa yang terjadi di pemilihan presiden Amerika Serikat yang kemudian dimenangkan Donald Trump. Media sosial jadi andalan untuk membombardir pemilih Amerika dengan opini yang menyesatkan. Apalagi setelah skandal Cambridge Analytica terkuak. Cambridge Analytica, salah satu perusahaan analis data. Perusaahan ini dituding ikut bermain dalam dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat pada tahun 2016. Cara kerjanya, Cambridge Analytica mula-mula mengidentifikasikan pengguna sosial media Facebook berdasarkan aktivitas digitalnya yang diduga memilih Hillary. Kemudian pemilih ditargetkan dengan pesan psikografis yang dirancang untuk menghasut calon pemilih Hillary untuk mengganti pilihannya, atau bahkan tidak menggunakan hak pilih sama sekali.
Menurut Wahyudi Djafar, Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), cara perang opini ala Cambridge Analytica meski terbukti efektif dan bisa mengefisienkan biaya penyelenggaraan pemilihan, tapi praktik pemanfaatan teknologi dalam pemilihan umum seperti itu justru membuka potensi yang mengancam demokrasi. Praktik manipulasi pemilu dilakukan dengan mengeksploitasi data pribadi pemilih yang secara umum bersumber pada Registration Voters Database atau database pemilih dan data dari aktivitas digital media sosial.
” Praktik ini telah marak terjadi di beberapa negara. Teknik-teknis eksploitasi data yang memanipulasi pemilih dalam menggunakan hak pilihnya adalah bentuk pelanggaran privasi,” kata Wahyudi.
Kata Wahyudi salah satu metode yang paling sering digunakan adalah dengan modus profiling atau mencocokan data dan informasi yang ditujukan untuk menggambarkan kehidupan dan minat seorang individu. Dalam pemilu, metode ini dikenal dengan nama VBT atau Voters Behavioral Targeting. Ini sebuah strategi kampanye berbasis data. VBT sendiri merujuk pada pembuatan profil pemilih berdasarkan perilaku daring pemilih dan data lain yang disediakan oleh data broker, serta penggunaan profil ini untuk menargetkan pemilih secara individu dengan iklan politik melalui media sosial yang dapat dengan mudah disesuaikan.
” Selain itu terdapat pula teknik VMT atau Voter Micro-Targeting yang dilakukan oleh partai politik untuk mengklasifikasikan dan mengelompokkan calon pemilih dari sumber data yakni dari berbagai jenis komunikasi seperti surat, telepon, dan iklan media sosial,” ujarnya.
Tidak hanya itu, lanjut dia, data tersebut digunakan untuk berkomunikasi dan membangun hubungan dengan calon pemilih. Kasus Cambridge Analytica, adalah contoh bagaimana dana pribadi dieksploitasi. Cambridge Analytica, salah satu perusahaan analis data, telah terbukti melakukan eksploitasi data pribadi pemilih dalam pemilu di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Kenya, dan India, kata Wahyudi. Dari data-data tersebut, dibangun metode kampanye yang memanipulasi pemilih dalam penggunaan hak pilihnya.
” Hal ini juga terjadi di Kenya, dengan menggunakan strategi “l’divisive propaganda’, dimana Cambridge Analytica telah meningkatkan permusuhan etnis demi memenangkan Uhuru Kenyatta,” ungkapnya.
Menurut Wahyudi, selama musim kampanye, warga Kenya menerima pesan teks yang telah ditargetkan berisi disinformasi dan ujaran kebencian. Pesan teks itu yang kemudian menimbulkan spekulasi bahwa data pemilih, data media sosial, dan nomor telepon telah dikaitkan satu sama lain dan dianalisis. Kemudian digunakan untuk menyebarkan propaganda politik yang ditargetkan kepada calon pemilih. Padahal, dalam rezim perlindungan data pribadi, pandangan politik dianggap sebagai data sensitif.
” Oleh karenanya mendapat perlindungan khusus serta tunduk pada kondisi pemrosesan tertentu,” kata Wahyudi.
Lintang Setianti, Peneliti ELSAM ikut menambahkan. Catatan buruk pemanfaatan teknologi dalam pelaksanaan pemilu yang terjadi di beberapa negara juga dapat mengancam pelaksanaan pesta demokrasi di Indonesia. Dan itu gejalanya sudah terasa. Terutama saat pemilu serentak tahun 2019 kemarin. Apalagi penetrasi internet di Indonesia tergolong tinggi. Berdasarkan survey dari We Are Social dan Hootsuite, Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam hal perkembangan jumlah pengguna media sosial terpesat di dunia. Rata-rata jumlah waktu yang dihabiskan pengguna media sosial dalam sehari untuk mengakses internet selama 8 jam 51 menit. Data tersebut menunjukan bagaimana masifnya data yang dikumpulkan yang berpotensi dianalisis dan dimanfaatkan oleh partai politik.
” Persoalan regulasi juga menjadi sumber utama menguatnya ancaman Indonesia menghadapi sisi gelap pemanfaatan teknologi dalam pelaksanaan pemilu,” ujarnya.
Tumpang tindihnya peraturan-perundangan antara UU Pemilu, UU Adminduk dan UU ITE, menurut Lintang menyebabkan ketidakjelasan perlindungan data Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Indonesia. Selain itu, belum ada regulasi maupun aturan turunannya yang secara khusus mengatur pemanfaatan data bagi strategi kampanye. Misalnya di Indonesia, UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 dan PKPU Nomor 23 Tahun 2018 masih mengizinkan adanya iklan pemilu dengan menggunakan produk advertising yang ditawarkan oleh beberapa platform media sosial, salah satunya Facebook.
” Selain itu, meskipun kasus-kasus seperti Cambridge Analytica mendapat kecaman dari dunia, karena terbukti melanggar privasi, beberapa juru bicara dan juru kampanye partai politik di Indonesia justru berlomba-lomba mereplikasi praktik yang mencederai prinsip demokrasi ini,” urai Lintang.
Salah satu contohnya, kata Lintang, seperti diberitakan di beberapa media, salah satu politisi Partai Golkar, Bambang Soesatyo menyatakan Big Data harus dimanfaatkan dalam pemenangan pemilu legislatif dan pemilihan presiden. Bahkan secara langsung Bambang Soesatyo menyatakan pemenangan Donald Trump dalam Pilpres Amerika Serikat tahun 2016 menjadi bukti efektivitas Big Data dalam kancah pertarungan politik. ” Ini katanya yang perlu diterapkan dalam Pemilu Indonesia,” katanya.
Diperparah lagi, kata dia, dengan belum adanya regulasi yang secara khusus dan komprehensif menjamin perlindungan data pribadi di Indonesia. Seperti yang telah diketahui, RUU Perlindungan Data Pribadi belum juga disahkan. Sehingga jaminan warga negara terhadap data privasinya tidak memiliki payung hukum dan menyebabkan lemahnya perlindungan.
” Ini yang membuat kami terus mendesak agar Pemerintah dan DPR segera mengesahkan RUU Perlindungan Data Pribadi, termasuk kejelasan tanggung jawab partai politik sebagai pemroses data,” katanya.
Selain itu, kata dia, diperlukan pembaruan sinkronisasi peraturan peraturan perundang-undangan sektoral khususnya UU Administrasi Kependudukan dan UU Pemilu. Juga sangat perlu adanya integrasi prinsip-prinsip HAM. Khususnya terkait perlindungan data pribadi dalam kebijakan internal serta ketentuan syarat layanan perusahaan. Perusahaan juga perlu menyediakan mekanisme komplain dan pemulihan termasuk notifikasi jika terjadi kebocoran data.
” Kami juga mendorong sertifikasi dari asosiasi terhadap perusahaan jasa analitik dan kampanye politik digital, ujarnya.
Hal lain yang diperlukan kata Lintang, pembaharuan terkait dengan kampanye dengan terlebih dahulu mengidentifikasi bentuk bentuk kampanye politik digital dan merumuskannya dalam peraturan pemilu. Juga pengaturan mengenai iklan politik khususnya iklan politik yang menggunakan media sosial. Bawaslu sebagai badan pengawas pemilihan juga harus melakukan pengawasan yang lebih terhadap praktik iklan kampanye yang dilakukan melalui media sosial dan media elektronik. ” Transparansi partai menyangkut cara dan penggunaan data pribadi yang dikumpulkan oleh partai dan perusahaan yang disewanya juga sangat penting,” ujarnya.
Pendek kata, individu perlu diberi akses untuk melihat profil mereka yang dikumpulkan oleh parpol. Termasuk permintaan penghapusan profil mereka. Selain itu, perlunya transparansi kampanye yang didanai oleh partai. Termasuk pengembangan pesan-pesan yang ditargetkan atau perusahaan-perusahaan yang mereka pekerjakan. Terakhir, Pemerintah harus mengambil peran kunci dalam menumbuhkembangkan kesadaran publik.
” Khususnya terkait pentingnya perlindungan data pribadi dan pendidikan literasi digital mengingat tingginya intensitas penyebaran disinformasi menjelang penyelenggaraan pemilu,”katanya. (Supriyatna/Daily News Indonesia)
Discussion about this post