Wajah Puan Maharani begitu sumringah, setelah resmi dilantik sebagai Ketua DPR di gedung parlemen, Selasa, 1 Oktober 2019. Apalagi, dalam momen bersejarah itu, sang ibu, Megawati Soekarnoputri hadir menyaksikan pelantikan. Megawati tidak lain adalah Ketua Umum PDIP, partai tempat Puan merintis karir politiknya, hingga jadi Ketua DPR.
Sang ibu pun merangkul bahagia, begitu Puan resmi jadi orang nomor satu di parlemen. Jabatan prestisius di panggung politik Indonesia. Terpilihnya Puan makin punya makna. Sebab, Puan menoreh sejarah. Ia akan dicatat sebagai perempuan pertama yang jadi Ketua DPR. Sama seperti ibunya, perempuan pertama yang jadi Presiden RI.
Makin bahagia, bosnya di kabinet, Presiden Jokowi ikut hadir di Senayan. Ya, Puan, sebelum terpilih jadi Ketua DPR, tercatat sebagai Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Sebelumnya, Puan adalah Ketua Fraksi PDIP di parlemen. Puan sendiri mengaku sudah pamitan ke Jokowi. Artinya, Puan tak lagi jadi menteri. Namun belum ada kabar dari Istana siapa yang ditunjuk Jokowi sebagai pelaksana tugas Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Sementara untuk posisi Menteri Hukum dan HAM yang ditinggalkan Yasonna Laoly yang juga terpilih jadi anggota DPR, Jokowi telah menunjuk Tjahjo Kumolo sebagai menteri hukum. Tjahjo sendiri saat ini menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri. Sebelumnya lagi, Jokowi juga telah menunjuk Hanif Dhakiri Menteri Tenaga Kerja untuk jadi Plt Menteri Pemuda dan Olahraga menggantikan Imam Nahrawi yang telah jadi tersangka kasus korupsi.
Kemenangan PDIP di pemilu legislatif 2019, yang digelar serentak dengan pemilihan presiden seakan jadi berkah bagi Puan. Posisi yang dulu diincar kini resmi digenggamnya. Tahun 2014, usai pemilu legislatif dan pemilihan presiden, nama Puan juga digadang sebagai calon kuat Ketua DPR. Kala itu, PDIP juga jadi partai pamuncak dalam hajatan pemilu legislatif 2014.
Namun, posisi itu lepas karena manuver partai-partai pendukung Prabowo Subianto yang mengakali UU MD3. Padahal, saat itu PDIP berstatus pemenang pemilu legislatif. Pun dalam Pilpres, jagoannya Jokowi-Jusuf Kalla menang menyingkirkan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. Gara-gara itu pula, PDIP sempat melakukan aksi walk out.
Sayang, status pemenang pemilu tak jadi jaminan bisa mendapat kursi Ketua DPR. Posisi itu akhirnya didapat Setya Novanto, politisi Golkar yang kini telah jadi pesakitan kasus korupsi e-KTP. Puan pun harus gigit jari. Bahkan, posisi Wakil Ketua DPR disapu bersih partai-partai pendukung Prabowo. Meski pada akhirnya, partai penyokong mantan Danjen Kopassus itu merapat ke Jokowi.
Kini situasi politik telah berbalik. Mayoritas partai di parlemen adalah pendukung Jokowi. Partai di luar pendukung Jokowi yang dapat posisi pimpinan di Senayan hanya Partai Gerindra, partai yang diketuai Prabowo Subianto, capres yang kembali dikalahkan Jokowi di ajang Pilpres. Gerindra menempatkan Sufmi Dasco Ahmad, sebagai Wakil Ketua DPR. Masih beruntung. Setidaknya, satu posisi penting di DPR masih diraih. Tahun 2014, Gerindra juga mendapatkan posisi yang sama lewat Fadli Zon.
Sementara satu partai pendukung Prabowo lainnya, PKS kali ini harus gigit jari. Sama sekali tak dapat kursi pimpinan dewan. Padahal, waktu 2014, PKS bisa dapat satu posisi Wakil Ketua DPR lewat Fahri Hamzah.
Namun setelah itu, Fahri dipecat oleh PKS. Tapi posisi Wakil Ketua DPR tetap dikangkangi Fahri. Tahun 2016, DPP PKS yang berseteru dengan Fahri sempat mencoba merebut posisi Wakil Ketua DPR dengan menyorong Ledia Hanifa Amaliah. Namun upaya itu kandas. Fahri tetap bercokol di kursinya. Kini Fahri telah pensiun. Bahkan bakal membentuk partai baru. Tak lagi bersama partai kader, partai yang membesarkan namanya, sekaligus yang memecatnya. (Supriyatna/Daily News Indonesia)