Pemimpin itu harus mendengar. Bersedia untuk sabar menyimak suara rakyatnya. Begitu juga dengan para elit yang sedang diberi mandat. Punya kuasa di Senayan. Mesti sedia untuk mendengar. Membuka hati dan telinga.
Pentingnya kesediaan untuk mendengar ini, saya dengar dari Zainal Arifin Mochtar, Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM) Zainal Arifin Mochtar. Ketika tampil di acara Indonesia Lawyer Club (ILC) program talk show yang diampu wartawan senior Karni Ilyas, Zainal yang juga pakar hukum tata negara UGM bicara tentang pentingnya kesediaan mendengar. Saat itu, Zainal sedang mengutarakan pendapatnya terkait dengan UU KPK yang begitu cepat disahkan DPR. Zainal mengkritik cara DPR dalam mengesahkan UU KPK. Padahal, resistensi publik begitu keras. Tapi DPR seperti tak peduli. Dengan waktu kilat, UU itu diketok palu. Tak ada kesempatan bagi publik memberi masukan. Berdiskusi. Tak ada.
Ketika sedang mengurai pendapatnya itulah, Zainal kerap dipotong oleh Arteria Dahlan, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP yang jadi lawan bicaranya. Awalnya, Zainal tak begitu bereaksi. Tapi karena terlalu seringnya Arteria memotong omongannya, Zainal bereaksi cukup keras. Sampai kemudian, keluarlah kata-kata tentang pentingnya kesediaan mendengarkan orang lain.
Kata Zainal, kesediaan untuk mendengar suara orang lain, terlebih suara khalayak sepertinya tak nampak dari DPR sekarang. Kesediaan mendengar seakan hilang di Senayan. Terutama dalam konteks UU KPK. Politisi Senayan merasa benar sendiri. Tapi tak sedikit pun menyediakan waktu untuk berdiskusi dan berdebat. UU KPK pun diketok hanya dalam hitungan hari.
Saya pun coba merenungkan apa yang dikatakan Zainal. Zainal benar. Kesediaan untuk mendengar itu sangat penting. Terutama bagi para elit yang tengah memanggul mandat dari publik. Karena bagaimana pun publik adalah pemberi mandat. Sumber legitimasi. Dan, sangat mahal harganya ketika kesediaan untuk mendengar itu hilang.
Yang terjadi, khalayak mencari jalannya sendiri, karena suaranya tak lagi didengar. Jalan demonstrasi pun di pilih. Di jalan, mereka berteriak. Menggelar protes, membentang poster dan spanduk. Agar suaranya didengar. Agar para pemegang mandat sedia menyimak.
Tapi, ketika ada kerumunan massa selalu punya potensi untuk memicu bentrok. Apalagi, ketika protes tak dihiraukan. Bentrok pun tak terhindarkan. Aksi anarkis tak bisa dicegah. Maka, ketika emosi massa sudah tersulut, yang terjadi adalah kerusakan. Bakar-bakaran. Perang batu. Itu pula yang terjadi akhir-akhir ini, ketika gelombang demonstrasi memprotes sejumlah RUU kontroversial marak digelar di mana-mana.
Mereka yang turun ke jalan, merasa suaranya tak didengar. Bahkan seakan diacuhkan. Disepelekan. Kecewa dan marah pun muncul. Berkelindan dan menyatu. Turun ke jalan jadi pilihan sebagai jalan perlawanan pada mereka yang tak mau mendengar.
Baru setelah gelombang protes tak terbendung, mereka, para elit yang tadinya acuh, akhirnya bersedia mendengar. Tapi, kerusakan kadung terjadi. Korban sudah berjatuhan. Di Kendari, Sulawesi Tenggara, seorang mahasiswa harus meregang nyawa karena tertembak peluru yang diduga berasal dari senjata aparat.
Randi nama mahasiswa yang harus jadi korban pertama demonstrasi mahasiswa itu. Ia mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo, Kendari. Hari Kamis (26/9) di Kendari para mahasiswa menggelar demonstrasi. Seperti di Jakarta, aksi unjuk rasa di Kendari juga berkunjung bentrok.
Aparat yang mengamankan aksi bertindak keras. Senapan menyalak. Entah siapa pelakunya. Yang pasti, Randi terkapar di jalan saat terjadi bentrok. Dari berita yang dikabarkan media-media online, Randi tertembak peluru di bagian dada. Ia hembuskan nafas terakhirnya, saat dibawa ke rumah sakit. Teramat mahal harganya akibat kesediaan mendengar itu tak ada lagi.
Kabar duka datang lagi. Masih dari Kendari. Muh Yusuf Kardawi (19 tahun), mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Halu Oleo Kendari dinyatakan meninggal dunia. Yusuf menghembuskan nafasnya yang terakhir setelah sempat menjalani operasi di RS Bahteramas.
Yusuf adalah salah satu mahasiswa yang ikut berdemonstrasi menentang pengesahan UU KPK di Kendari, hari Kamis kemarin. Yusuf di bawa ke rumah karena terluka parah. Sempat menjalani operasi, tapi nyawa Yusuf tidak tertolong.
Karena itu, mumpung belum terlambat. Dan, agar tak ada lagi ibu yang meratapi kepergian anaknya, saatnya para elit, dengarkan suara orang banyak. Suara rakyatmu. Suara orang-orang yang engkau wakili. Orang-orang yang selalu diatasnamakan olehmu.
Pak Jokowi, dan engkau, bapak serta ibu yang ada di Senayan, dengarkan suara mereka. Bersedialah untuk mendengar. Mari luangkan waktu sejenak saja untuk menyimak. Agar tak lagi darah tumpah. Agar tak ada lagi, air mata duka yang luruh. Cukup Randi dan Yusuf yang terakhir. Jangan ada lagi tragedi seperti di Kendari. Jangan ada lagi.