Daily News|Jakarta – Hari Selasa, 24 September 2019, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Munardo membeberkan lahan yang diamuk api. Amuk api yang populer disebut dengan kebakaran hutan dan lahan. Disingkat Karhutla. Karhutla yang membuat warga di Riau, Kalimantan Tengah, Jambi, Palembang, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan sejumlah daerah di Sumatera dan Kalimantan menderita. Dicekik kabut asap.
Menurut Doni, Letnan Jenderal baret merah itu, luas lahan yang terbakar
selama 2019 tercatat seluas 328.724 hektar. Cukup luas. Pantas saja, jerebu menyerbu hingga ke negeri tetangga: Malaysia dan Singapura. Doni juga menginformasikan jika 27 persen 27 persennya atau 86.563 hektar dari lahan yang terbakar berupa lahan gambut.
“Saya mempunyai data, penyebab Karhutla adalah 99 persen ulah manusia ada yang disengaja ada yang lalai, dan 80 persen lahan yang terbakar pada akhirnya menjadi kebun,” kata Doni.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga sudah datang ke Riau. Melihat langsung ke area yang terbakar. Tidak pakai masker. Hingga sepatunya kotor. Asap menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, sudah berkurang. Tidak lagi mencekik. Tentu, ini kabar gembira. Setidaknya, membuat nafas warga yang kena dampak karhutla bisa sedikit lega. Tak terus disekap asap.
Saat sang jenderal baret merah menginformasikan luas lahan yang diamuk api, ingatan tiba-tiba nyantol ke sebuah nama. Sutopo Purwo Nugroho. Dia, adalah Kepala Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat BNPP. Semacam juru bicara di badan yang konsen dalam penanggulangan bencana. Ia biasa dipanggil Pak Sutopo. Ada juga yang manggil Pak Topo.
Pak Sutopo kini telah tiada. Ia telah dipanggil ke Rahmatullah pada 7 Juli 2019, Pak Sutopo wafat setelah berjuang keras melawan penyakit kanker paru-paru yang menggerogoti pria yang pernah dapat penghargaan Asian Of The Year 2018. Pak Sutopo lahir di Boyolali, Jawa Tengah, 7 Oktober 1969.
Ingat Pak Sutopo, ingat akan kecepatan informasi yang dikabarkannya. Ya, ketika ada bencana, wartawan biasanya dapat info pertama dari Pak Sutopo. Infonya cukup detil. Dikabarkan dari menit ke menit. Infonya mengalir deras. Cukup lengkap.
Misal, ketika ada bencana banjir, Pak Sutopo akan mengabarkan, kapan dan jam berapa banjir mulai menerjang. Tinggi air. Jam berapa surut. Berapa korban luka. Berapa yang meninggal. Berapa yang luka berat. Berapa yang luka ringan. Jumlah rumah rusak baik yang ringan dan berat pun dikabarkan dengan detil. Pun, wilayah mana saja yang kena dampak. Bahkan sampai tingkat RT dan RW. Lengkap sekali.
Pun, ketika bencana karhutla datang. Pak Sutopo yang rajin mengabarkan. Dari menit ke menit. Berapa hot spot apa yang terlacak. Di wilayah mana. Lalu apa saja upaya penanggulangan. Dikabarkan dengan detil. Dan selalu di update. Bisa dari menit ke menit. Atau dari jam ke jam.
Bahkan, berapa helikopter yang dikerahkan untuk memadamkan api. Jumlah personil. Sampai korban yang kena ISPA, tak luput dikabarkan. Publik pun bisa memantau perkembangan bencana. Lewat aplikasi layang pesan semacam WhatsApp, Pak Sutopo mengabarkan itu. Sebelumnya saat WhatsApp belum tenar, Pak Sutopo mengandalkan layanan BlackBerry Messenger (BBM). Tak kenal waktu. Bisa dikabarkan pagi. Siang. Malam. Bahkan tengah malam atau dini hari.
Wartawan tentu sangat dimudahkan dengan info Pak Sutopo. Bahan untuk berita bisa cepat didapat. Cepat pula dikabarkan. Kini, tak ada lagi info detil itu. Tak ada lagi, info yang datang dini hari. Atau saat tengah malam.
Pak Sutopo, telah tiada. Kabar tentang jumlah hot spot dari hari ke hari, bahkan dari jam ke jam tak ada lagi. Ada yang hilang memang. Semoga, akan ada lagi Sutopo-Sutopo yang baru. Yang tanpa kenal waktu mengabarkan perkembangan dampak bencana. Semoga…
Pewarta: Agus S