Daily News|Jakarta – Rezim Cidro, Rakyat Ambyar, kalimat itulah yang sempat mewarnai demonstrasi para mahasiswa yang digelar serentak di berbagai kota di Indonesia. Demonstrasi terbesar setelah gerakan reformasi tahun 1998. Jadi judul dalam poster yang dibawa para demonstran. Kalimat yang sepintas lucu dan menggelitik. Tapi sangat keras menohok.
Para mahasiswa berdemo, turun ke jalan untuk memprotes sejumlah beleid yang dihasilkan DPR dan Pemerintah. Mereka menolak UU KPK yang baru, RUU KUHP, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan dan RUU Sumber Daya Alam. Bagi para mahasiswa, empat beleid itu telah mencederai agenda reformasi yang digaungkan tahun 1998. Agenda yang menurut para mahasiswa kini telah dibajak. Dikorupsi para elit.
Di mata para mahasiwa, para elit telah mencederai janji-janji manisnya saat kampanye. Kini, janji tinggal janji. Maka rezim cidro, rakyat ambyar pun disuarakan. Ini simbol perlawanan. Cara mahasiswa milenial mengolok-olok para elit di negeri ini. Cidro sendiri adalah judul lagu yang dipopulerkan Didi Kempot, penyanyi yang hit dengan lagu-lagu patah hati.
“Wis sakmestine ati iki nelongso
Wong seng tak tresnani mblenjani janji.”
Itu sepenggal lirik Cidro, lagu yang bercerita tentang kekasih yang ingkar janji.
“Aku nelongso mergo kebacut tresno
Ora ngiro seikine cidro.”
Itu lirik terakhirnya. Tidak mengira yang dipercaya ingkar janji. Ya, lagu itulah yang kemudian dipakai para mahasiswa untuk mengekspresikan kekecewaan dan juga kemarahannya. Kemarahan yang ditunjukkan kepada para elit yang telah membuai rakyat dengan sederet janji manisnya, tapi kemudian diingkari.
Ambyar juga judul lagu Didi Kempot. Lagu ini juga bercerita tentang remuknya perasaan yang dikhianati. Itu pula yang dirasakan para mahasiswa. Elit di eksekutif dan legislatif telah berkhianat. Membuat ambyar harapan rakyat. Maka, Ketua BEM UI, Manik Marganamahendra dengan lantang menyebut DPR itu tak lebih sebagai Dewan Pengkhianat Rakyat.
Para mahasiswa yang keluar kampus, merasa sudah ambyar. Sudah teramat kecewa dengan keadaan yang ada. Tapi mereka tak ingin hanya berhenti dengan meratapi nasib. Para mahasiswa memilih untuk melawan. Turun ke jalan menantang terik. Pekikan perlawanan. Rezim cidro, rakyat ambyar seru mereka.
Menurut Pengamat Politik dari Universitas Indonesia (UI) Wawan Fahrudin, para mahasiswa sekarang adalah generasi yang berjarak jauh dengan generasi mahasiswa 98. Mahasiswa sekarang, adalah generasi yang hidup di era digital. Era meme dan komika. Mereka punya cara sendiri mengekspresikan suara hatinya. Lebih kreatif dan menggelitik. Lebih menghibur.
Mengenai tuntutan yang disuarakan para mahasiswa, menurutnya adalah isu publik. Isu yang jadi bagian dari amanah reformasi. Yang paling penting adalah isu pemberantasan korupsi. “Nah revisi UU KPK ini pintu masuk utk mengentalkan sentimen publik kaum terpelajar terhadap komitmen pemerintah untuk pemberantasan korupsi,” kata Wawan.
Isu ini kata Wawan, yang perlu dijawab pemerintah dengan clear. Kalau pemerintah tidak mampu menjawab ini, akan jadi bumerang. Kepentingan politik pasca pemilu yang masih mencari celah, akan ikut mengail di air keruh. ” Mereka akan cari cara untuk medelegitimasi pemerintah, bahkan disinyalir mengarah pada upaya pencegalan pelantikan Presiden Oktober mendatang” ujarnya.
Wawan juga meminta DPR mesti arif melihat fenomena ini. Di akhir masa jabatannya, anggota dewan mestinya tidak terburu-buru mengundangkan RUU yang nyata-nyata berpotensi merugikan publik seperti RUU KHUP. Dan Presiden sudah jelas meminta ditunda. Problemnya, interpretasi ditunda ini dapat diartikan Presiden setuju namun bukan untuk waktu sekarang. Mestinya Presiden tegas menolak dan meminta DPR melakukan kajian ulang lebih mendalam.
“Mengenai panjang tidaknya nafas perjuangan mahasiswa ini tergantung dari seberapa responsif pemerintah dan DPR menyikapi isu yang disuarakan mahasiswa. Jika tidak, mahasiswa akan terus melawan,” ujarnya.
Penulis: Agus S
Discussion about this post