Daily News|Jakarta – Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendukung adanya perluasan pasal perzinahan yang diatur dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP.
Menurut Anggota Komisi Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ikhsan Abdullah, Indonesia harus pintar mengodifikasi KUHP karena kultur Indonesia yang sangat beragam.
“Beberapa pasal seperti perzinahan terjadi perluasan, yang menjadi nilai baru yang sesuai dengan kultur Indonesia,” ujar Ikhsan dalam diskusi bertajuk “Mengapa RKUHP Ditunda?” di Jakarta, Sabtu (21/9/2019).
Ia menegaskan, rezim perzinahan dalam KUHP warisan kolonial Belanda disebutkan definisi perzinahan adalah melakukan hubungan badan antara seorang yang sudah bersuami/beristri dengan orang lain yang bukan istri/suami yang terikat dalam perkawinan.
Menurut Ikhsan, dalam RKUHP definisi perzinahan diperluas bahwa perzinahan adalah persetubuhan antara laki-laki dan perempuan di luar pernikahan.
“Ketika laki-laki dan perempuan belum menikah, lalu bersetubuh, itu masuk perzinahan. Kumpul kebo masuk di dalamnya,” ujarnya.
Ikhsan menilai masyarakat harus melihat RKUHP secara komprehensif dan integral sehingga tidak salah mengartikan sebuah pasal.
Ia mencontohkan pasal terkait polemik terkait dengan perempuan yang keluar malam akan dipidana, padahal dalam Buku 1 RKUHP dijelaskan bahwa perempuan tidak dipidana ketika sedang bekerja.
“Misalnya, seorang perempuan artis yang kerjanya pagi hingga malam, ya, dia tidak bisa dipidana karena sedang bekerja,” katanya.
Ikhsan Abdullah menilai masyarakat perlu dituntun dalam memahami RKUHP sehingga semua pihak jangan “mengipasi” yang menyebabkan polemiknya makin kencang.
Discussion about this post