KESIAPAN dukungan Munarman dan Front Pembela Islam ( FPI ) terhadap Partai Demokrat kubu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dinilai memiliki keterkaitan erat ketika ayah AHY, Susilo Bambang Yudhoyono ( SBY) memimpin bangsa ini selama dua periode. Banyak pihak merasa terganggu. Apa yang salah?
Landscape politik di tahun 2024 menempatkan pemilih Islam sebagai faktor terpenting. Kenapa kedudukan Prabowo Subiantor diperkirakan bakal menurun? Tidak lain adalah karena kekecewaan umat Islam pendukungnya ditinggalkan tanpa pemimpin. Karena itu, pendukung yang besar itu sedang mencari tempat berlabuh.
Merangkul pemilih Islam menjadi penting dan sah-sah saja dalam politik. Jika ada parpol yang didukung oleh keluarga dan simpatisan mantan PKI, itu sah-sah saja. Tak perlu dilihat berlebihan di era demokratis sekarang. Strategi ini akan menambah pundi-pundi Demokrat yang selama ini mengklaim sebagai partai tengah (nasionalis), namun relijius.
Maka, ketika sekarang Partai Demokrat dan PKS menjadi kekuatan oposisi terhadap pemerintah, pemilih Islam, terutama pendukung 212 dan kekuatan Islam yang dianggap berada di luar rung lingkup pendukung pemerintah akan menyalurkan suaranya kepada kedua partai ini. Ada suara Islam yang tetap dipegang secara tradisional oleh PPP, PAN, maupun PKB, dan ada pula yang beralih ke PUI, Masyumi Reborn, atau Partai Gelora.
Betapapun kini marak survey bayaran dengan agenda pesanan, di sana ada juga kebenaran yang tak boleh mereka nafikan dan pungkiri begitu saja. Kedua partai oposisi, Demokrat dan PKS, kian meningkat rating elektabilitasnya. Ini jelas, bahwa positioning, termasuk menyuarakan posisi partai oposisi dan pemimpin yang disukai Islam akan menentukan kesukaan dan elektabilitas partai.
Lalu, apa basis kecurigaan ketika Partai Demokrat bermaksud mengambil suara Islam kelompok di luar pemerientah ini? Kedekatan Partai Demokrat dengan suara Islam di kelompok ini bukan baru.
Dalam kepresidenan SBY, Demokrat juga dekat dengan kekuatan formal Islam di DPR: PPP, PAN, dan PKB. Jadi tidak ada yang baru. Dan, politik membenarkan Langkah ini, untuk tujuan: meraih suara sebanyak mungkin dalam Pemilu 2024.
Ada kritik yang tidak suka kepada Demokrat, mengklaim bahw selama masa kepemimpinan SBY sebagai Presiden RI, di mana pada saat itu juga Partai Demokrat berkuasa, organisasi radikal seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mendapat ruang berekspresi yang begitu luas.
“Padahal sejatinya FPI dan HTI ini adalah kelompok radikal yang anti kebebasan berekpresi,” tuduh pembenci umat dan ulama oposisi.
“Keberadaan FPI dan HTI dibela oleh kalangan demokrat yang dengan naif atas dalih kebebasan berserikat dan berkumpul,” ujar Aktivis NU, Muhamad Guntur Romli dalam acara Seruput Kopi pegiat sosial Edi Kuntadhi melalui Channel YouTube CokroTV, Sabtu (27/3/2021).
Klaim tak terbuktikan mereka mengatakan jika ditelisik lebih jauh ke dalam, FPI dan HTI merupakan kelompok radikal yang membahayakan kebebasan berserikat dan berkumpul itu sendiri. Tuduhan tanpa bukti adalah cerminan sikap fasis dan anti demokrasi.
“Itulah sebabnya, selama sepuluh tahun masa kepemimpinan SBY dan Partai Demokrat dituduh mendapatkan dukungan dari kelompok front demokrasi semu.”
Meraih suara keluarga dan simpatisan kelompok pemberontak komunis, berkali-kali dalam sejarah Indonesia, suara kaum sekular, maupun liberalis sah-sah saja, sepanjang masih berada di koridor UU dan asas demokratisasi.
“Pada masa SBY itu juga ada dukungan-dukungan dari front demokrasi tetapi naif. Demokrasi diartikan kebebasan yang seluas-luasnya. Tidak ada filter, tidak ada perlawanan terhadap radikalisme, tidak ada perlawanan terhadap hate speech,” tuduh Guntur Romli.
Mantan petinggi organisasi HTI, Ayik Heriansyah mendukung pendapat ini. Ruang kebebasan yang besar membuat organisasi radikal seperti FPI dan HTI mendapat keleluasaan untuk melakukan berbagai kegiatan, baik di ruang privat maupun di ruang publik. Dalam spirit demokrasi, apa yang salah?
Dalam teori politik, semakin luas partisipasi publik dalam proses manahemen politik dan pemerintahan stablitas semakin terjamin dan kualitas kebijaan semakin substantif. Pendapat ini tentu dibantah oleh pendukung intoleransi dan fasisme.
Menurut Heri, sebenarnya organisasinya kala itu tak memiliki keterkaitan dengan aksi dukung mendukung dengan Pemerintahan SBY.
Namun, orang-orang yang tidak suka dengan Demokrat dan SBY menuduh kelonggaran ruang untuk mengekspresikan opini itu cerminan dari ketidaktegasan SBY terhadap HTI dan organisasi sejenis lainnya.
“Ini yang membuat mereka leluasa menjalankan aktivitas politiknya,” tuding mereka. Kembali lagi, apa yang salah? Apakah bertentangan dengan Konstitusi dan UU yang berlaku serta semangat demokrasi?
“Sebenarnya HTI itu bersikap baro, ya. Artinya berlepas tangan terhadap Pemerintahan SBY.
“Cuma sepertinya saat itu SBY masih ragu-ragu untuk menindak HTI. Sehingga HTI di bawah SBY ini sebagaimana kita tahu, bahwa SBY ini sepertinya tidak akan membubarkan mereka,” observasi Ayik.
Ketidaktegasan sikap SBY, Ayik mengklaim, memberikan ruang gerak luas bagi HTI dan FPI untuk terus menjalankan aktivitas organisasinya. Bahkan, saking masifnya gerakan mereka sehingga bisa masuk hampir ke semua lapisan masyarakat.
“Mereka (HTI dan FPI) memanfaatkan peluang politik dan kebebasan berekspresi selama 10 tahun itu dengan menginfiltrasi segala lini, baik BUMN maupun swasta,” tuduhnya.
SBY dikenal presiden yang sangat menaati Konstitusi. Menurut orang-orang dekatnya, di saku SBY selalu ada buku UUD 1945, dan dalam koridor itu SBY menjalankan pemerintahan selama 10 tahun. Ini legacy yang baik.
Jangan ada wacana bahwa Presiden, dengan dalih apapun, diperbolehkan melanggar UU. Penyimpangan atau diskresi bisa dilakukan, namun tetap berada di dalam koridor rule of law dan semangat keadilan bagi semua warganegara. Bukan untuk kepentingan cukong dan taipan politik ekonomi.
Jika Partai Demokrat berhasil memperluas basis dukungannya dari Nasionalis Religius merengkuh suara ulama dan umat Islam yang kini mengambang tentu tidak ada yang salah.
Bahkan strategi ini menjadi tepat di kala ulama dan umat kini sedang mencari pemimpin oposisi dan kekuatan yang dapat meletakkan perjuangan mereka secara proporsional dan adil dalam kerangka NKRI, seperti diklaim oleh Habib Rizieq Shihab.
Oleh: Haz Pohan, Pemred DNI
Discussion about this post